Barangkali tulisan ini tidak akan menggambarkan bagaimana asal-muasal terjadinya sebuah keramaian dunia maya atas ujaran dari Ustaz Hanan Attaki, beberapa waktu yang lalu. Mungkin beberapa baris kalimat atau bahkan paragraf berikutnya hanyalah sebuah renungan kecil atas dasar manusia yang masih manusiawi. Bukan pembelaan, keberpihakan, atau ujaran kebencian bagi yang lain. Cukuplah hanya sebatas kontemplasi diri dengan harapan menuju titik temu antara pemahaman menjadi manusia dan menjadi lawan bicara manusia.

Menjadi manusia, harus siap menerima kekalahan melawan takdir sebagai makhluk yang kuat, serba benar, dan tak pernah bersalah. Sebab, bagaimana pun kita berikhtiar untuk menghindar, pada akhirnya kita akan tetap menerima bercak-bercak noda salah yang berbekas. Bukan berarti berujung pada keputusasaan untuk berkebaikan lalu diam dan bungkam. Tetapi, pada hakikatnya, manusia memang diciptakan dan diberi nafsu oleh Tuhan. Dan nafsu itulah yang memberikan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan bentuk-bentuk perbuatan. Tentu, karena manusia bukanlah malaikat yang tak diberi nafsu oleh Allah, maka manusia adalah makhluk yang manusiawi; bersifat manusia: makhluk yang bisa saja salah dan bisa saja lupa.

Jadi, pemahaman menjadi manusia sangatlah penting bagi kita; agar tak mudah menyalahkan dan menghujat orang lain—yang boleh jadi tak sepenuhnya bersalah. Sebab, barangkali ia lupa, mungkin ia tak sengaja, dan boleh jadi bukan niatannya berlaku atau berucap seperti itu. Ingat pepatah lama, “semut jauh di seberang sana nampak, sedangkan gajah di pelupuk mata tak nampak.”
Maknanya, kadang kita begitu jeli dengan kesalahan orang lain; mengungkitnya berulang kali, dan memberitakannya luas ke tentangga-tetangga mana saja. Tetapi, seringkali kita lalai dengan kesalahan diri sendiri dan terlambat untuk menginsafi khilafnya hati. Mulai detik ini, mari memahami arti menjadi manusia yang manusiawi.

Tentang menjadi lawan bicara manusia. Jika lawan bicara kita adalah manusia, maka bersiaplah menerima beberapa kesalahan dan bersedia untuk berlapang dada memberi kemaafan yang seluas-luasnya. Sebab, tak ada manusia yang sempurna. Tak ada tapak langkah yang tak pernah jatuh. Tak ada pilihan yang tak pernah meleset. Dan tak ada hati yang tak pernah patah. Eaaak...

Kata Banda Neira, “yang patah akan tumbuh; yang hilang akan berganti.”