Oleh: Agoy Tama
“Jika tak ingin hilang dan lenyap begitu saja, maka berkaryalah.” –Agoy Tama.



Berkarya adalah tentang upaya menciptakan sesuatu. Dan sesuatu itu dikatakan sebagai karya, setidaknya jika mempunyai dua ciri, yaitu mempunyai nilai estetika dan mengandung makna. Berkaya, menurut KBBI Luring 1.5.1, adalah mencipta (mengarang, melukis, dan sebagainya). Dalam artian, orang mencari kepuasan dalam hal berkarya.

Bagi saya, berkarya adalah ikhtiari menghadirkan sesuatu yang mampu berdaya dan menjadi satu tanda bahwa saya ada atau pernah ada. Bukan sebagai ajang mencari eksistensi diri. Tetapi, lebih mengarah pada eksistensi ide atau gagasan, pemikiran, dan perasaan-perasaan yang dimiliki. Lantas, untuk apa eksistensi itu?

Eksistensi ide atau gagasan, pemikiran, dan perasaan-perasaan itu bagi saya adalah sesuatu yang layak ‘diadakan’ dan ‘diabadikan’. Sebab, kita tak selamanya ada. Manusia punya batas usia yang kelak akan memaksanya hilang dari dunia. Maka, salah satu jalan agar diri kita mampu memberikan ‘sesuatu’ kepada lebih banyak orang di dunia—meski raga telah berpisah dengan ruhnya—adalah dengan berkarya. Seperti kata Sapardi dalam puisinya,

“yang fana adalah waktu. kita abadi.”

Saya sepakat dengan Sapardi. Tetapi, barangkali ada yang harus saya beri tanda kutip tunggal dalam penggalan puisinya tersebut hingga menjadi,

“yang fana adalah waktu. ‘kita’ abadi.”

Artinya, kata “kita” dalam penggalan puisi tersebut tidak bisa ditafsirkan secara apa adanya. Tetapi, harus digali lagi, apa makna sesungguhnya yang ada dalam kata "kita" tersebut. Saya menafsirkan kata “kita” dalam penggalan puisi Sapardi tersebut menjadi alasan, mengapa saya harus berkarya. Karena kita sebagai manusia percaya bahwa waktu perlahan akan meniadakan kehidupan kita. Tetapi, ide atau gagasan, pemikiran, dan perasaan-perasaan kita yang dialih-wujudkan menjadi sebuah karya; maka ia akan tetap bertahan dan terus berdaya meski kita telah tiada. Jadi, kata “kita” dalam penggalan puisi tersebut mungkin lebih tepat jika ditafsirkan sebagai ide/gagasan, pemikiran, dan perasaan-perasaan yang dimiliki oleh “kita” itu sendiri.

Tak berhenti cukup di situ, agar ide atau gagasan, pemikiran, dan perasaan-perasaan yang dimiliki oleh “kita” itu abadi, berdaya, dan mampu ditemukan oleh sebanyak mungkin orang, maka semuanya harus dialih-wujudkan menjadi sebuah karya. Semua harus benar-benar ada, berwujud, dan mempunyai ‘tubuh’ atau ‘rumah’.

Juli, 2018

x