Puisi
dan prosa bagi saya adalah ‘tubuh’ atau ‘rumah’ yang sangat nyaman untuk ide
atau gagasan, pemikiran, dan perasaan-perasaan saya. Dengan keduanya, saya bisa
mengekspresikan semua yang ada di kepala saya. Dengan keduanya, saya bisa
memperbaiki suasana hati. Bisa juga mengurangi beban diri.
Sebelum
menuju gambaran puisi dan prosa, saya ingin berbagi soal beberapa curhatan saya
tentang arti menulis bagi saya.
1. Menulis bagi saya
adalah terapi.
Usai
menulis, biasanya kita akan merasa plong
dan suasana hati akan jauh lebih baik. Misalnya, saat suasana hati kita keruh
karena suatu perkara yang tidak bisa segera diselesaikan, maka dengan
menuliskannya terkadang akan mengurangi beban itu. Ketika sedang marah atau
dendam dengan seseorang, dan tidak mau ada urusan panjang dengannya, maka
menuliskan semua uneg-uneg adalah
semacam terapi yang sangat baik. Saat banyak pikiran, maka tuliskan. Jangan
hanya disimpan. Jika disimpan terus-terusan, boleh jadi justru akan menyakiti
diri sendiri. Maka menulis bagi saya adalah terapi.
2. Menulis adalah
ekspresi jiwa juga ide atau gagasan, pemikiran, dan perasaan-perasaan yang saya
punya.
Maka,
di dalam dunia sastra, ideologi dan latar belakang penulis bisa dilacak dengan cara
menelaah bagaimana karya-karyanya. Dan sebuah karya, biasanya dipengaruhi oleh
apa-apa yang dibaca oleh penulis. Hasil karya akan dipengaruhi oleh ide atau gagasannya,
pemikiran, dan perasaan-perasaan yang didapat dari membaca, melihat, mendengar,
merasakan, dan cara lainnya.
3. Menulis boleh jadi
adalah respon dari apa yang saya alami, saya amati, dan saya tahu.
Konsepnya
hampir mirip dengan pandangan pertama tentang menulis adalah terapi. Tetapi,
pandangan ketiga ini lebih mengarah pada daya cipta setelah ada kejadian
‘sesuatu’. Semacam reaction atau
reaksi yang ditimbulkan oleh aksi di luar diri kita. Misalnya, ada seorang
ibu-ibu menulis sebuah puisi yang sangat berbau SARA. Kebetulan saya berada di
pihak yang merasa ‘dirugikan’. Maka, saya terdorong untuk membuat sebuah karya
balasan untuk mengimbangi puisi ibu-ibu itu. Boleh jadi puisinya berisi tentang
‘menyakiti’ balik atau meluruskan pemikirannya.
Contoh
lain misalnya, saya sedang mengalami perasaan jatuh cinta atau patah hati, maka
saya akan banyak membuat karya-karya seputar itu. Dan itulah perwujudan respon
dari apa yang saya alami. Misalnya, karya saya yang ditulis berdasarkan hasil
respon dari apa yang saya amati adalah buku Hujan Cinta. Di dalamnya terhimpun berbagai jenis tulisan, seperti
sketsa, puisi, dan prosa yang bertema tentang ekspresi cinta seorang remaja
yang salah dalam cara mengungkapkannya. Saya menuliskannya dengan tenang,
nyaman, tanpa beban. Sebab, seluruh bahan dari buku itu adalah apa-apa yang
sering saya amati dan lama saya tangani dengan teman-teman lainnya. Saya sering
mendapat curhatan teman-teman, melihat berita tentang permasalahan remaja, dan
saya aktif di komunitas remaja. Dan itulah yang membuat saya menjadi lebih
mudah untuk meresponnya dengan karya. Karena permasalahan itu adalah
permasalahan yang dekat dengan kehidupan saya dan yang seringkali saya amati. Begitu
pula ketika saya menuliskan buku Yang
Akan Tiba. Hampir seluruh isinya adalah respon saya terhadap pemikiran dan
perasaan-perasaan yang sedang saya alami; juga kejadian-kejadian yang menimpa
saya. Maka, begitulah konsep menulis adalah respon, bagi saya.
Masing-masing
penulis atau penyair punya pandangan tersendiri tentang kegiatan menulis atau
membuat karya. Boleh jadi antara satu penulis dengan penulis lainnya, sudut
pandangnya berbeda. Hal itu bukan sebuah masalah. Tetapi, justru harus
disyukuri, karena dengan begitu, sudut pandang tentang kegiatan menulis menjadi
lebih kaya dan dapat dipelajari secara lebih luas.
Juli,
2018
x
0 Comments