Oleh: Agoy Tama

Puisi dan prosa bagi saya adalah ‘tubuh’ atau ‘rumah’ yang sangat nyaman untuk ide atau gagasan, pemikiran, dan perasaan-perasaan saya. Dengan keduanya, saya bisa mengekspresikan semua yang ada di kepala saya. Dengan keduanya, saya bisa memperbaiki suasana hati. Bisa juga mengurangi beban diri.

Sebelum menuju gambaran puisi dan prosa, saya ingin berbagi soal beberapa curhatan saya tentang arti menulis bagi saya.

1. Menulis bagi saya adalah terapi.

Usai menulis, biasanya kita akan merasa plong dan suasana hati akan jauh lebih baik. Misalnya, saat suasana hati kita keruh karena suatu perkara yang tidak bisa segera diselesaikan, maka dengan menuliskannya terkadang akan mengurangi beban itu. Ketika sedang marah atau dendam dengan seseorang, dan tidak mau ada urusan panjang dengannya, maka menuliskan semua uneg-uneg adalah semacam terapi yang sangat baik. Saat banyak pikiran, maka tuliskan. Jangan hanya disimpan. Jika disimpan terus-terusan, boleh jadi justru akan menyakiti diri sendiri. Maka menulis bagi saya adalah terapi.

2. Menulis adalah ekspresi jiwa juga ide atau gagasan, pemikiran, dan perasaan-perasaan yang saya punya.
                                                                              
Maka, di dalam dunia sastra, ideologi dan latar belakang penulis bisa dilacak dengan cara menelaah bagaimana karya-karyanya. Dan sebuah karya, biasanya dipengaruhi oleh apa-apa yang dibaca oleh penulis. Hasil karya akan dipengaruhi oleh ide atau gagasannya, pemikiran, dan perasaan-perasaan yang didapat dari membaca, melihat, mendengar, merasakan, dan cara lainnya.

3. Menulis boleh jadi adalah respon dari apa yang saya alami, saya amati, dan saya tahu.

Konsepnya hampir mirip dengan pandangan pertama tentang menulis adalah terapi. Tetapi, pandangan ketiga ini lebih mengarah pada daya cipta setelah ada kejadian ‘sesuatu’. Semacam reaction atau reaksi yang ditimbulkan oleh aksi di luar diri kita. Misalnya, ada seorang ibu-ibu menulis sebuah puisi yang sangat berbau SARA. Kebetulan saya berada di pihak yang merasa ‘dirugikan’. Maka, saya terdorong untuk membuat sebuah karya balasan untuk mengimbangi puisi ibu-ibu itu. Boleh jadi puisinya berisi tentang ‘menyakiti’ balik atau meluruskan pemikirannya.

Contoh lain misalnya, saya sedang mengalami perasaan jatuh cinta atau patah hati, maka saya akan banyak membuat karya-karya seputar itu. Dan itulah perwujudan respon dari apa yang saya alami. Misalnya, karya saya yang ditulis berdasarkan hasil respon dari apa yang saya amati adalah buku Hujan Cinta. Di dalamnya terhimpun berbagai jenis tulisan, seperti sketsa, puisi, dan prosa yang bertema tentang ekspresi cinta seorang remaja yang salah dalam cara mengungkapkannya. Saya menuliskannya dengan tenang, nyaman, tanpa beban. Sebab, seluruh bahan dari buku itu adalah apa-apa yang sering saya amati dan lama saya tangani dengan teman-teman lainnya. Saya sering mendapat curhatan teman-teman, melihat berita tentang permasalahan remaja, dan saya aktif di komunitas remaja. Dan itulah yang membuat saya menjadi lebih mudah untuk meresponnya dengan karya. Karena permasalahan itu adalah permasalahan yang dekat dengan kehidupan saya dan yang seringkali saya amati. Begitu pula ketika saya menuliskan buku Yang Akan Tiba. Hampir seluruh isinya adalah respon saya terhadap pemikiran dan perasaan-perasaan yang sedang saya alami; juga kejadian-kejadian yang menimpa saya. Maka, begitulah konsep menulis adalah respon, bagi saya.

Masing-masing penulis atau penyair punya pandangan tersendiri tentang kegiatan menulis atau membuat karya. Boleh jadi antara satu penulis dengan penulis lainnya, sudut pandangnya berbeda. Hal itu bukan sebuah masalah. Tetapi, justru harus disyukuri, karena dengan begitu, sudut pandang tentang kegiatan menulis menjadi lebih kaya dan dapat dipelajari secara lebih luas.

Juli, 2018

x