UNTUK SENIMAN: AGAR BIJAK DAN TIDAK FATAL DALAM MENGAMBIL SIKAP



Sebelum mengambil sikap, gunakan juga sudut pandang orang lain. Sebab, sudut pandang seseorang menentukan bagaimana ia akan mengambil sikap.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menulis dalam kitabnya,

“Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap segala sesuatu.”

Pemikiran adalah proses berpikir. Dan proses berpikir akan menghasilkan persepsi/cara kita berpikir atau memahami sesuatu. Sementara perspektif/sudut pandang adalah cara memandang sesuatu.

Setiap seniman punya ide atau gagasan dan pemikiran yang dibawa masing-masing. Mereka juga punya cara “dakwah” dan segmentasi pasar/target masing-masing. Artinya sudut pandang masing-masing seniman juga berbeda.

Seniman yang baik, dalam melihat persoalan tidak hanya menggunakan sudut pandang pribadinya saja, lalu menghukuminya sendiri. Akan tetapi, ia berusaha untuk adil dengan juga menggunakan sudut pandang orang lain—boleh jadi sudut pandang pasar/target dakwahnya atau seniman lainnya.

“Seniman beriman” adalah ia yang punya ide atau gagasan yang diambil dari pemikiran-pemikiran agamanya. Tentu juga menggunakan sudut pandang dari agamanya. Maka, apa pun yang mereka kerjakan tidak akan lepas dari ide atau gagasan juga pemikiran agamanya. Dan apa pun masalahnya, akan dilihat dari sudut pandang agamanya—dengan memperhatikan siapa target dakwahnya.

Sebuah permisalan: X adalah seorang penulis yang di KTP-nya, tertulis ia beragama Islam. Ia hadir di dunia kreatif dengan ide atau gagasan dan pemikirannya sendiri. Entah sebagai seorang muslim atau seniman pada umumnya, ia punya target “dakwah” dan sudut pandang sendiri ketika melihat sesuatu. Jika kita lihat karyanya, maka tidak akan ditemukan dengan gamblang unsur agama, baik secara eksplisit maupun implisit. Intinya, X hanya mengejar pasarnya sendiri. Dia juga pernah berkata, bahwa menulis baginya adalah profesi. Artinya, menulis/berkarya baginya bukan kewajiban untuk menyebarkan kebaikan atas dasar perintah agamanya. X punya sudut pandang lain soal “tujuan menulis/berkarya”. Dan jelas bukan untuk mendakwahkan agamanya.

Jadi, jika konten/karya yang bersifat nasihat/religius dijadikan sebagai patokan atau tanda kedewasaan seseorang, maka apakah X termasuk seseorang yang tidak/belum dewasa secara pemikiran?



Jawabnya, belum tentu dan tidak bisa disimpulkan secara terburu-buru seperti itu. Kita lihat dulu persoalannya seperti apa, dari mana sudut pandang kita, dan dari mana sudut pandang pelaku (X) melihat persoalan itu.

Misalnya, soal kesadaran berdakwah sebagai seorang muslim. Sudut pandang kita melihat bahwa perkara dakwah—menyebarkan/menyeru kebaikan dari agama—itu wajib. Akan tetapi, Sudut pandang X—dalam hal ini—barangkali ia belum tahu/sadar akan kewajiban itu. Maka, sikap kita seharusnya lebih bijak dengan berpikir bahwa:

jika ada seseorang yang belum tahu, maka kewajiban kita memberi tahu, bukan menghakiminya secara sepihak—dengan hasil yang fatal, karena hanya menggunakan sudut pandang pribadi dalam melihat suatu persoalan.

Begitulah seharusnya seorang “seniman beriman” dalam mengambil sikap. Ia tahu apa saja yang harus dilakukan ketika menemui sebuah persoalan. Ia bijak menentukan langkah dan ia pandai mengapresiasi karya orang lain.


Jaksel, 18 Juni 2019
ditulis oleh Agoy Tama

Post a Comment

0 Comments